Sekilas Tentang Kerajaan Jambi dan Palembang

Oleh: Dra. Sariningsih.H *

WARTANEWS – Di Pulau Sumatra, sedikitnya ada dua kerajaan yang sempat berjaya di zamannya. Kerajaan tersebut adalah, Kerajaan Jambi, dan Kerajaan Palembang. Untuk mengetahui lebih jauh dari kedua kerajaan tersebut, berikut penulis uraikan, lewat referensi buku bahan ajar guru sejarah, terbitan Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Kerajaan Jambi

Pada abad 11, Jambi pernah menjadi kerajaan bahari terbesar di Nusantara, yaitu tempat berpijak bagi kerajaan Sriwijaya, sebelum dipindahkan ke Palembang. Setelah kerajaan tersebut surut, Jambi mengalami kehilangan pamor, sehingga keadaannya dilupakan sejarah. Memasuki abad 16, terjadi pemusatan beberapa bandar besar di Nusantara, yakni Aceh, Johor, Palembang, tanpa terkecuali Jambi.

Membludaknya gelombang kedatangan para pedagang asing, membuat perekonomian Jambi kembali berdenyut dan menapaki masa keemasannya. Selain mendapat keuntungan sebagai pelabuhan transit, penjualan lada juga termasuk penyumbang perbendaharaan kerajaan. Lada tersebut, dipasok dari daerah pedalaman dan didistribusikan ke pasar pelabuhan melalui jalur sungai Batanghari, yang merupakan sungai terpanjang di Sumatra.

Komoditas rempah ini cukup menjadi penggerak roda niaga Jambi, ketika itu. Kerajaan Jambi pernah menjadi vassal kerajaan Mataram. Dengan kondisi itu, membuat beberapa kerajaan seperti Banten dan Palembang sungkan untuk memperluas kekuasaan mereka, mengingat mereka masih menaruh hormat kepada kerajaan Mataram.

Sistem pemerintahan dikerajaan Jambi tergolong unik. Jalannnya pemerintahan dipegang oleh Raja “yang tua” yang lazim disebut Sultan dan Raja “yang muda” atau Pangeran Ratu (Putra Mahkota). Masing-masing mereka memiliki basis pendukung kekuasaaannya tersendiri, dan diperkenankan membuat tanda kebesaran yang satu sama lain berbeda.

Terbelahnya kekuasaan inilah yang membuat Jambi berbeda dengan kerajaan lain. Otoritas kerajaan tidaklah terlalu otoriter, mengingat kompromi antar dua Raja kerap kali terjadi.

Hal ini amat berbeda dengan Aceh dan Mataram yang keputusan tunggal berada ditangan Rajanya. Fungsi dua Raja ini bukanlah menandakan dua kepemimpinan yang berbeda, namun justru dimaknai sebagai bentuk integritas Jambi.

Perekonomian Jambi lebih didominasi oleh peran para saudagar. Diantara mereka ada yang diplot sebagai pejabat Syah Bandar yang diberi mandat mengorganisir sistem pelayaran dan perdagangan yang baik. Sungai Batanghari menjadi penyokong utama lancarnya dalam pendistribusian barang dari pedalaman ke pesisir. Laiknya seperti beberapa kerajaan di Kalimantan, sungai berperan besar sebagai jalur tak tergantikan dalam menjaga agar stok barang tetap tersedia.

Optimalisasi peran sungai agaknya menjadi perhatian di masa kini. Memori masa lalu sebagai salah satu kampiun perdagangan dunia bukan hanya disematkan pada daerah pesisir semata, namun melihat pula pada peran sungainya. Suatu langkah menguntungkan jika potensi sungai negeri ini kembali dibangkitkan, sehingga menjadi alternatif pendapatan negara.

Kerajaan Palembang

Munculnya kerajaan Palembang, tidak bisa dilepaskan dengan Diaspora Adipati Majapahit bernama Ario Damarke Palembang pada 1447. Awalnya dia adalah penganut Hindu, namun beberapa waktu kemudian dia memutuskan untuk menjadi Muslim, dan namanya berganti menjadi Ario Abdillah, atau Ario Dillah dengan gelar Panembahan Palembang. Proses menjadi muslim dengan durasi singkat itu, menunjukkan sudah ada pemukiman orang Muslim di Palembang, ketika itu.

Suatu ketika Ario Abdillah mendapat anugerah istri dari Kertabumi, Raja Majapahit bernama Putri Campa yang keadaannya sedang hamil tua. Pada tahun 1453, anak itu lahir, kemudian diberi nama Raden Patah. Raden Patah inilah yang nantinya ketika besar menjadi Raja pertama Kerajaan Demak. Hubungan Palembang terbangun dengan baik dengan Majapahit dan berlanjut terus hingga terjadi perombakan tata kekuasaan di Jawa. Ketika Demak yang menjadi kerajaan utama islam di Jawa bahkan ketika digantikan Pajang, Palembang masih menjadi daerah bagian dari kekuasaan Jawa.

Kerjasama kedua pemerintahan selanjutnya mengalami kelonggaran ketika Mataram menjadi penguasa islam di Jawa.
Ketika Palembang di bawah kepemimpinan Pangeran Mading Soko bergelar Pangeran Ratu Sultan Jamaluddin Amangkurat I yang memerintah pada 1587-1622, Palembang menjadi daerah protektorat kerajaan Mataram.

Ketika pengaruh Mataram atas Palembang agak memudar, pada 1653, Pangeran Ariokesumo Abdul Rahim, memproklamirkan berdirinya Kesultanan Palembang Darussalam. Daerah kekuasaan kerajaan ini mencakup daerah-daerah sebagian Lampung Utara hingga Krui, Pulau Bangka Belitung dan eks Keresidenan Palembang. Sultan Palembang pertama ini memerintah hingga 1707. Palembang mencapai masa kejayaannya ketika menginjak paruh kedua abad 18. Sultan Susuhunan Mahmud Badaruddin II memerintah secara bijaksana dan membuka pasaran timah yang luas, sehingga keuntungannya digunakan untuk membangun kerajaan.

Sumberdaya timah yang melimpah menemukan pasaran yang tepat di Palembang. Pelabuhan disana yang sudah menjadi tujuan saudagar antar pulau dan antar benua. Jalur perdagangan ke Jawa, Riau, Malaka, Siam, dan China, sejak lama sudah terbangun dimanfaatkan untuk menyejahterakan rakyat. Pola terbentuknya Palembang, hampir mirip dengan Demak, yakni kelanjutan dari Dinasti atau kerajaan Hindu-Budha yang berjaya sebelumnya. Bukti kejayaan kerajaan Sriwijaya, kerajaan “wongkito” ini memiliki daerah pengaruh yang demikian luas, di kawasan Sumatra Selatan.

*) Penulis adalah Guru IPS di SMPN 20 Kota Jambi

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *