Jambi (WARTANEWS.CO) – Sikapi Kasus Pembunuhan Santri di Kabupaten Tebo, Kejati Jambi kembali gelar Dialog Interaktif Jaksa Menyapa melalui RRI PRO 1 JAMBI 88,5 mHz, Rabu (27/03/2024).
Acara yang berlangsung secara live ini dipandu oleh penyiar Benny Wijaya yang diisi oleh 2 narasumber dari Kejaksaan Tinggi Jambi yakni Helena Octaviane dan Amiruddin berasal dari Kemenag.
Dalam dialog dijelaskan yang dimaksud perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. (UU35/2014 mengubah UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak).
Sebagai contoh perlindungan anak antara lain anak berhak untuk: Hidup, tumbuh dan berkembang, Bermain, Berekreasi (piknik/wisata), Berkreasi, Beristirahat, Memanfaatkan waktu luang, Berpartisipasi, Bergaul dengan anak sebayanya.
Perlu diketahui beberapa waktu lalu di Jambi dihebohkan adanya kasus pembunuhan santri di Ponpes Raudhatul Mujawwidin, Rimbo Bujang, Kabupaten Tebo, Jambi atas nama Ainul Harahap (13).
Saat ini kasus telah ditangani Polda Jambi serta menetapkan dua orang tersangka berinisial A (15) dan R (14) yang masih kakak tingkat di pesantren tersebut. Kasus ini terungkap setelah pihak keluarga curiga dengan informasi kematian anaknya yang diduga tersengat listrik namun ada luka luka di bagian kepala dan saat itu keluarga korban juga minta bantuan Pengacara Hotman Paris melalui media sosial hingga akhirnya terungkap terjadi penganiayaan oleh pelaku sebelum korban meninggal dunia.
Guna mencegah pelanggaran dan kejahatan kembali terulang utamanya dilingkungan anak/ santri, Kejaksaan juga selalu mengedukasi masyarakat melalui program Jaksa Masuk Pesantren dan tujuannya ada mengenalkan hukum guna jauhi hukuman.
“Kasus kekerasan terhadap anak ini sering kali ditutupi oleh korban maupun keluarga, Kejaksaan mendorong agar masyarakat terbuka dan waspada atas perbuatan bahkan ancaman yang bisa membahaykan nyawa korban, tidak harus no viral no justice untuk menghebohkan suatu kejahatan,” ajak Helena. (*)