Dewan Pers : Pemahaman KEJ, Salah Satu Syarat Kompetensi Wartawan

JAMBI (WARTANEWS.CO) – Tuntutan seorang profesi Wartawan sekarang ini, menurut Dewan Pers sangat penting sekali. Anggota Dewan Pers Ketua Komisi Pendidikan, Pelatihan dan Perkembangan Profesi Wartawan, juga Sekretaris Jenderal Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Hendry Chairudin Bangun mengatakan tuntutan kompetensi profesi Wartawan mencakup beberapa hal, antara lain salah satunya yaitu Standar Kompetensi Wartawan (SKW).

Dewan Pers, sebutnya, menjadikan pemahaman Kode Etik Jurnalistik (KEJ) sebagai salah satu syarat kompetensi untuk jenjang Wartawan Muda, Jenjang Wartawan Madya, dan Jenjang Wartawan Utama.

“Mulai tahun 2018 ini, ada mata uji Kode Etik Jurnalistik (KEJ) di dalam Uji Kompetensi Wartawan (UKW) di semua jenjang bagi calon Wartawan Muda, Wartawan Madya, dan Wartawan Utama. Materinya adalah, berupa pelaksanaan KEJ, pengawasan KEJ, dan edukasi KEJ,” demikian paparnya saat memberikan materi kegiatan Pelatihan Jurnalistik dan Kehumasan Tahun 2018 sekaligus Uji Kompetensi Wartawan (UKW) PWI Provinsi Jambi, Jum’at (13/04/2018) di Hotel Grand Abadi Jambi, Pasar, Kota Jambi.

Dijelaskan fungsi kode etik bagi profesi wartawan, ungkapnya bahwa setiap profesi memiliki kode etik yang dibuat oleh kalangan profesi itu sendiri agar mereka dapat mengontrol perilaku anggotanya.

Ditambahkan kode etik berfungsi sebagai landasan moral dan etika profesi, yang bersifat operasional dalam menjaga kepercayaan publik, menegakkan integritas dan profesionalisme. “Sanksi kode etik itu, bersifat moral, dari Dewan Pers, organisasi profesi dan media tempat wartawan tersebut bekerja, dapat berupa peringatan sampai dengan pemecatan,” ujarnya.

Banyak contoh pelanggaran profesi wartawan dalam menulis berita, Hendry Chairudin menjelaskan, diantaranya membuat deskripsi bersifat ‘cabul’ sehingga memberi ‘asosiasi’ atau kesan sensual bagi pembaca, serta memaparkan foto yang bersifat sadis.

Lanjutnya pelanggaran lainnya yakni dengan membuat berita tidak berimbang, dan/atau berpihak pada orang/kelompok tertentu. Contoh lainnya yakni membuat berita yang tidak ada faktanya, rumor, gosip tidak jelas tanpa konfirmasi.

Contoh pelanggaran lainnya, yakni wartawan kerapkali sering membuat berita dengan niat buruk untuk memojokkan seseorang/suatu pihak, dan memasukkan opini dalam berita, tuturnya.

Hendry menceritakan KEJ yang berlaku saat ini, telah disepakati organisasi pers tahun 2016, dan disahkan oleh Dewan Pers agar memiliki dasar hukum. Sebagian kode etik tersebut, dimasukkan ke dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 Tentang PERS.

“BAB II, Pasal 5 dalam Undang-Undang PERS, disebutkan bahwa Pers Nasional wajib melayani Hak Jawab (ayat 2), dan wajib melayani Hak Koreksi (ayat 3). Sedangkan di dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ), disebutkan bahwa Wartawan Indonesia melayani Hak Jawab dan Hak Koreksi secara proporsional. Media yang melanggar, dapat dipidana 500 juta rupiah,” jelasnya.

Disatu sisi, lanjutnya, hal lain yang sangat penting disebutkan di dalam Pasal 4 Ayat (2) dalam Undang-Undang PERS, yaitu terhadap Pers Nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan penyiaran.

Kemudian dalam Pasal 4 Ayat (4) dalam Undang-Undang PERS ini, juga disebutkan bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak (untuk melindungi sumbernya, dengan cara menolak menyebutkan identitas narasumber), digunakan jika diminta penyidik atau bersaksi, dapat membatalkan bila terkait kepentingan dan keselamatan Negara, atau kepentingan umum, yang dinyatakan oleh Pengadilan.

Ditambahkan ada beberapa kata kunci dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ), yaitu independen, berimbang, tidak beritikad buruk, faktual dan jelas sumbernya, menguji informasi, tidak menyebut nama korban susila dan pelaku kejahatan (anak-anak) dibawah umur, tidak menyalahgunakan profesi, tidak berperasangka dan diskriminatif. (Afrizal)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *